Sabtu, 18 April 2020

Implikasi Syari'at Islam

Muhammad Khoerul Umam Hafidz
IMPLIKASI SYARIAT ISLAM

A. Problematika Penerapan Syariat Islam dalam Negara Kontemporer

Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II.

Pada umumnya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis multidimensi berlarut larut, terutama bagi mereka yang cenderung berpikir praktis dan jarang berpikir kritis, pemecahan melalui jalur Syariat ini diyakini merupakan satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi beragam krisis multidimensi tersebut. Dengan kata lain, formalisasi syariat ke ruang publik diamini sebagai solusikomplet nan mujarab dalam menuntaskan beragam kompleksitas persoalan di dalam masyarakat.
Sedikitnya ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi Syariat Islam. Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam Undang undang negara. Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pemaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.

Syariat sebagai elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling kuat untuk menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah, kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai keakuan yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan. Syariat menjadi alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada taraf tertentu syariat bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan agama syariat tidak bisa dihindarkan.

Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius. An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif. Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan Aceh tentunya) adalah sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa hubungan antara aplikasi syariah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.

Demikian juga Muhammad Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap pakai,terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.

Hukum Islam dalam pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasan-ulasan spekulatif untuk memahami Istilah istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah. Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama Islam. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya. Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah keinginan politis negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang berbahaya.

B.Pengalaman formalisasi Syariat Islam di negara kontemporer

Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syariah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan lain-lain, maka penerapan syariah Islam lebih tepatnya penerapan fikih sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syariah diperkenalkan pada tahun 1983. Di beberapa provinsi Nigeria, dimana hukum syariah dalam bentuk hudud diberlakukan, orang-orang dicambuk dan dipotong tangannya, untuk menunjukkan bahwa rezim penguasa adalah orang-orang yang konsisten melaksanakan hukum Allah. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syariah. Bahkan di Mesir yang cenderung sekuler, seorang penulis wanita (Farah Fauda) mati dibunuh didepan apartemennya oleh seseorang yang tengah melaksanakan fatwa ulama yang menyebut bahwa sang penulis telah murtad. Seorang ulama Mesir yang membela si pembunuh menyatakan bahwa jika pemerintah gagal melaksanakan syariah (termasuk membunuh yang murtad tadi) maka setiap muslim berhak melaksanakan pembunuhan itu.

Penerapan syariah dengan otoritas wilyatul faqih di Iran sejak 1979, telah menyebabkan banyak umat Islam Syiah menjadi risih dengan kemunafikan ulama dan kemudian menolak formalisasi Syariat tersebut. Iran juga tercatat sebagai salah satu negara dengan presentase tertinggi kecanduan narkoba didunia. Sementara penerapan fiqh Wahabi di Arab Saudi bisa terlihat dalam kasus seperti belasan gadis sekolah yang terbakar hidup-hidup setelah ditolak menyelamatkan diri dari gedung sekolahnya yang terbakar oleh polisi agama semata karena mereka tidak memakai cadar.

Perang sipil dan pertumpahan darah di Sudan Selatan terjadi karena penerapan syariah. Menurut analisis Esposito, kebijakan Islamisasi Sudan itu sangat menganggu banyaknya orang di Sudan dan juga kepentingan Internasional. Sehingga sejumlah pihak banyak yang menuduh bahwa program islamisasi yang dilakukan lebih memecah belah ketimbang menyatukan Sudan. Konflik berdarah di Nigeria utara juga terjadi karena kelompok-kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan syariah, sementara Nigeria adalah negara plural dengan konstitusi non agama seperti Indonesia. Menurut laporan, ketika syariah Islam pertama kali diterapkan di Nigeria utara, lebih dari 6000 orang mati akibat konflik agama antara 1999-2002. Di wilayah Kaduna, sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syariah pada tahun 2000. Kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syariah juga terjadi di daerah-daerah Bauchi, Jos, dan Aba, yang menelan korban nyawa ratusan orang.
Pengundangan negara atas teori syariat sebagaimana yang dipaparkan diatas, menjadi bukti bahwa syariat hampir mustahil untuk dapat berjalan dengan baik dalam konteks nasional dan internasional saat ini. kesulitan yang dihadapi dalam model ini termasuk ambivelensi yang besar bagi pendiri hukum syariat terhadap otoritas politik. Mereka tampaknya tidak mengontrol atau mengetahui, bagaimana membuat orang-orang yang melaksanakannya bertanggung jawab terhadap syariat itu sendiri.

Penerapan hukuman bersifat fisik bagi beberapa kejahatan khusus (hudud) misalnya, menghadapi masalah prosedural dan keberatan-keberatan yang tak terselesaikan. Apalagi jika dikaitkan dengan concern Hak-Hak asasi Manusia mengenai kekejaman, tindakan tidak manusiawi dan hukuman-hukuman yang merendahkan martabat. Demikian juga pengabaian hak kewarganeraan bagi perempuan dan komunitas non-muslim akan memperoleh tantangan yang serius baik oleh kelompok yang bersangkutan maupun komunitas internasional secara luas

DAFTAR PUSTAKA
https://acehinstitute.org/pojok-publik/agama/syariat-islam-dalam-negara-kontenporer.html/amp
https://amp.beritasatu.com/nasional/52895-penerapan-syariat-islam-dilindungi-konstitusi
https://artikula.id/taaibah/modernisasi-dan-implikasinya-terhadap-hukum-islam/

Sabtu, 21 April 2018

SEJARAH SINGKAT PONDOK PESANTREN DARUL AMANAH SUKOREJO KENDAL

SEJARAH PONDOK PESANTREN DARUL AMANAH

Pendahuluan.
Pondok Pesantren Darul Amanah Ngadiwarno Sukorejo Kendal adalah filial Pesantren DarunnajahJakarta. Karena Pesantren Darunnajah Jakarta membuka 28 filial dan Pesantren Darul Amanah adalah filial yang ke-10.

Pondok Pesantren Darul Amanah juga termasuk Pesantren Alumni Gontor. Karena Pondok Modern Gontor hingga saat ini telah mempunyai Pesantren Alumni seluruhIndonesia200 lebih Pesantren dan  satu–satunya Pesantren Alumni Gontor di Kabupaten Kendal adalah Pesantren Darul Amanah.

Disamping itu Pondok Pesantren Darul Amanah kurikulumnya, disiplinnya, tata tertib dan lain–lainnya hampir seperti Gontor. Termasuk pula pimpinannya adalah alumni Pondok Modern Gontor.

Pondok Pesantren Darul Amanah pada mulanya memiliki tanah waqaf dari Bapak H. Sulaiman seluas 6.000 m2 yang diikrarkan pada tanggal 22 Pebruari 1990 di rumah Bapak H. Sulaiman, Kabunan Ngadiwarno Sukorejo Kendal. Pada tahun 2007 ini tanah yang dimiliki Pesantren seluas + 45.000 m2( 4,5 hektar ) hasil jerih payah dan perjuangan dari Pimpinan Pesantren, Pengurus dan para Guru yang andil dalam perluasan ini. Juga tanah tambahan  tersebut di dapat dari wakaf  H. Yasykur, Hj. Hasanah Jakarta, serta wakaf para wali murid yang dilelang permeter persegi, termasuk pula hasil pembelian Pesantren Darul Amanah sendiri.

Setelah pembentukan Yayasan Darul Amanah pada tanggal 24 Pebruari 1990, maka berdiri pulalah Pesantren Darul Amanah yang dipelopori  sebagai oleh:

KH. Jamhari Abdul Jalal, LC (Cipining Bogor)
KH. Mas’ud Abdul Qodir  (Pes. Darul Amanah Ngadiwarno  Sukorejo Kendal)
Bpk. Slamet Pawiro  ( Parakan Sebaran  Pageruyung)
Ust. Junaidi Abdul Jalal  (Parakan Sebaran  Pageruyung)

Adapun Sebagai Pimpinan Pesantren Darul Amanah adalah KH. Mas’ud Abdul Qodir, alumni Gontor tahun 1975.

 Keadaan Santri.
 Pada awal berdirinya Pesantren Darul Amanah, membuka pendidikan tingkat Aliyah (MA) dengan santri sejumlah 60 anak putra dan putrid. Sementara santriwan (putra) menempati rumah Pimpinan Pesantren yang ada di sebelah barat Puskesmas Sukorejo II (Kabunan) selama 2 bulan. Kemudian pindah ke kampus Pesantren ( Gedung Ibnu Sina ), sedangkan untuk santri putri sementara waktu bertempat di rumah Bapak H. Sulaiman (Kabunan) selama 9 bulan. Kemudian pindah ke rumah Pimpinan yang ada di dekat kampus Pesantren Darul Amanah. Rumah Pimpinan Pesantren tersebut hampir semua untuk tempat santri, hanya tinggal satu kamar saja yang disisakan sampai tahun 1997. Disamping untuk santriwati, rumah Pimpinan Pesantren juga untuk kamar Ustadzah, kantor Ustadzah, koperasi putri dan tempat makan.

Pada tahun pertama, santri Pesantren Darul Amanah datang dari berbagai daerah seperti Kab. Kendal, Batang, Kodya Semarang, Jepara, Ngawi,Jakarta, Pekalongan dan Pemalang

Pada tahun ke-2, Tahun Pelajaran 1991/1992 pondok Pesantren Darul Amanah membuka pendidikan tingkat Tsanawiyah (MTs.) dan Aliyah (MA) dengan jumlah santri sebanyak 190 anak, tahun ke-3 sejumlah 335 anak. Tahun ke-4 sejumlah 415 anak, tahun ke-5 sejumlah 505 anak, tahun ke-6 sejumlah 650 anak, tahun ke-7 sejumlah 817 anak, tahun ke-8 sejumlah 1028 anak, tahun ke-9 sejumlah 1082 anak, tahun ke-10 sejumlah 1161 anak, tahun ke-11 sejumlah 1225 anak, tahun ke-12 sejumlah 1225 anak, tahun ke-13 sejumlah 1225 anak, tahun ke-14 sejumlah 1225 anak. Tahun ke-15 sejumlah 1125, tahun ke- 16 sejumlah 1200 anak. Tahun ke-17 sebanyak 1.258 anak. Tahun pelajaran 2008/2009 sebanyak + 1.316 anak, Tahun pelajaran 2009/2010 sebanyak 1.406 anak, Tahun pelajaran 2010/2011 sejumlah 1.416 anak, Tahun pelajaran 2011/2012 sebanyak 1.602 anak, dan pada Tahun Pelajaran 2012/2013 ini jumlah santri sebanayak 1.875 anak,   mereka berasal dari berbagai daerah yang hampir tersebar di seluruh Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Palembang, Lampung, Jambi, Bengkulu, Riau, Lamandau, Nagroe Aceh Darussalam, Banjarmasin, Sintang, Pontianak, Palangkaraya, Jaya Pura, Batam, Banten, Bengkulu, Sinjai, Dll.
Sumber: darulamanah.com

Selasa, 17 April 2018

JILBAB ANGGUN MU


JILBAB ANGGUN


 Memandangmu adalah anugerah
Goresan senyummu tertera jelas
Indah bagai sekuntum bunga mekar
Di kala fajar menyingsing


Helai anggun jilbab panjang mu
Jelas terurai menyapu langkah kaki mu
Langkah anggun mengiringi langkah itu
Seakan terbuai akan cantik mu


Terasa bahagia bila ku dengar lantunan ayat suci Nya
terucap dari bibir indah mu itu
Ingin ku selalu mendengarnya
Mendengar bibir mu melantunkan
ayat suci Nya


Selasa, 03 April 2018

DALAM SUJUDKU

Dalam sujudku

Ketika keheningan melanda
sayup-sayup desiran angin menemani
setiap sujud malam ku
ku sebutkan nama indah mu

rasa tak harus ku ungkapkan
rasa pun tak usah kau balaskan
biar Tuhan lah yang tentukan
indahnya melihat masa depan

melihat senyum mu pun cukup sudah
hati dan jiwa tlah terobati karnanya
cukup dengan do'alah 
ku jaga rasa suci ini